MENU

Rabu, 29 Juni 2011

KOMISIONER

1.PENGERTIAN KOMISIONER
                Berdasarkan pasal 76 s/d 85a KUH Dagang menurut pasal 76 KUHD maka seorang Komisioner dirumuskan sebagai orang yang melakukan tindak perusahaan untuk mengadakan persetujuan atas perintah dan perhitungan orang lain yang disebut komitmen, akan tetapi persetujuan itu tidak dilakukan atas nama komitennya melainkan atas nama sendiri atau Firmanya dan dengan ini menerima upah yang disebut provisi atau komisi.
Berlainan dengan seorang makelar, maka  seorang komisioner tidaklah disyaratkan pengangkatan resmi dan penyumpahan oleh pejabat tertentu. Dalam menjalankan pekerjaannya ia menghubungkan pihak pemberi kuasanya (komiten) dengan pihak-pihak ketiga dengan memakai namanya sendiri.
Selain ia bertindak atas nama sendiri, menurut Pasal 77, ia pun tidak diwajibkan untuk menyebutkan kepada pihak ketiga dengan siapa ia bemiaga, yaitu nama orang yang memberi perintah, oleh karena itu ia berhubungan dengan pihak ketiga itu seolah-olah tindakan itu urusannya sendiri.
Dalam hal ini ia pun secara langsung terikat pada pihak lain dalam persetujuan. Pihak pemberi amanat tidak boleh menuntut terhadap pars pihak dengan siapa komisioner itu telah bertindak, dan sebaliknya pihak dengan siapa komisioner itu telah bertindak tak berhak menuntut pihak yang memberi amanat kepada komisioner tersebut.
Seorang komisioner dapat juga bertindak atas nama pemberi kuasa­nya. Dalam hal seorang komisioner bertindak atas nama pemberi kuasa, maka ia tidak lagi dipandang sebagai komisioner. Dengan demikian pula segala hak-hak dan kewajibannya dikuasai oleh Bab XVI Kitab KUH Per tentang Pemberian Kuasa (lastgeving). la pun dalam hal ini kehilangan hak-hak mendahului (privilege) yang diberikan oleh Pasal 80 KUHD kepadanya, oleh sebab ia dalam hal itu (bertindak atas nama komitennya) sama sekali tidak memikul risiko dan akibat tindakan­tindakan sebagai seorang komisioner melainkan seluruhnya jatuh pada pemberi kuasa (mengenai privilege yang diperoleh komisioner berdasarkan Pasal 80 KUHD akan dibicarakan kemudian).
Selanjutnya mengenai hubungan hukum antara komisioner dengan si pemberi komisi (komiten) tidaklah diatur dengan tegas dalam KUHD. Oleh karena itu, beberapa sarjana telah memberi pendapatnya tentang rochtskarakter antara komiten dan komisioner, sebagai berikut :
a.       Pendapat Polak
Menurut Polak, KUHD sendiri menganggap hubungan komisi­oner dan komitennya sebagai pemberian kuasa (lastgeving) yang diatur dalam Kitab III KUH Per. Pendapat Polak ini didasarkan pada Pasal 85 KUHD yang menegaskan,'Pemberian hak-hak dalam Pasal 81, 82, dan 83 sama sekali tak mengurangi hak menahan (retentie) yang diberikan kepada komisioner oleh Pasal 1812 KUHD Per.
Akan tetapi, kata Polak selanjutnya, perjanjian lastgeving antara komisioner dan komitennya adalah suatu per anjian lastgeving yang bersifat khusus. Beliau menyebutnya lastgeving khusus, dengan alasan bahwa Bab XVI Kitab III KUH Per yang mengatur tentang lastgeving (pemberian kuasa) tidak disebutkan (belum dimasukkan) tentang perjanjian komisi.
b.      Pendapat Vollmar
Menurut Vollmar perjanjian antara komisioner dan komiten adalah suatu perjanjian pemberian kuasa biasa.
c.       Pendapat Molengraaff
Molengraaff berpendapat, bahwa hubungan komisioner dan komitennya adalah suatu perjanjian campuran antara perjanjian lastgeving (Bab XVI Kitab III KUH Per) dan perjanjian untuk melakukan pekedaan (overeenkomst tot het verrichten van enkele diensten) yang diatur dalam Pasal 1601 KUH Per.
Menurut Molengraaff perjanjian komisi khususnya mengan­dung unsur perjanjian untuk melakukan pekerjaan (Pasal 1601 KUH Per) dan pada umumnya dapat pula digunakan (takluk) peraturan­peraturan tentang pemberian kuasa.
Kalau ada pertentangan antara itu, maka diutamakan perjanjian melakukan pekerjaan (Pasal 1601 KUH Per).

d.      Pendapat Sukardono
Dengan mendasarkan pada Pasal 79 dan 85 KURD, Prof. Sukar­dono menyetujui pendapat Polak. Dalam Pasal 79 KUHD disebut­kan, bahwa jika seorang komisioner bertindak atas nama peng­amanatnya, maka segala hak dan kewajibannya pun terhadap pihak ketiga dikuasai oleh ketentuan-ketentuan dalam KUH Per pada bab tentang pemberian kuasa.

2.TUGAS-TUGAS KOMISIONER
    a. Tugas pekerjaan komisioner jual
·         Menerima, menyimpan dan mengasuransikan barang-barang milik prinsipalnya.
·         Membayar ongkos-ongkos yang dikeluarkan untuk kepen­tingan barang-barang tersebut.
·         Menjual barang-barang tersebut dengan harga setinggi-tinggi­nya.
·         Pada umumnya komisioner menerima dalam hal ini suatu order yang memuat limit harga yang terendah yang diizin­kan oleh prinsipalnya
·         Menagih pendapatan pert ual dan mengirimkan perhitungan­nya kepada prinsipalnya.
·         Membayar kepada prinsipal apa yang disebut netto-pro­venu (net proceeds) ialah pendapatan kotor setelah dipotong ongkos dan komisi.

    b. Tugas pekerjaan komisioner beli

·         Membelikan barang-barang untuk prinsipalnya dengan harga serendah-rendahnya; dalam surat ordemya biasanya dise­but limit harga pembelian yang paling tinggi yang diperbo­lehkan.
·         Menyimpan dan mengasuransikan barang-barang yang dibeli.
·         Membayar harga barang-barang itu dan ongkos-ongkos yang diperlukan bagi pembelian itu.
·         Mengirimkan barang-barang itu dengan disertai faktur pem­beliannya ialah jumlah harga pembelian ditambah ongkos dan komisi.

Biasanya seorang pedagang yang ingin membeli atau menjual barang, ia menginginkan suatu perkiraan tentang pendapatan bersih dari transaksinya tersebut. Untuk ini maka ia akan me­minta kepada komisioner untuk mengirimkan suatu contofin­to yaitu suatu perhitungan penjualan atau pembelian yang ber­sifat imaginair. Dalam. hal telah dilakukan transaksi maka pada umumnya oleh pedagang itu dimintakan apa yang dikenal suatu faktur pro forma (pro-forma invoice) dalam hal pembelian dan nota pro forma dalam hal penjualan.
Ada kalanya diadakan suatu kontrak konsinyasi (consignment) yang berarti, bahwa komiten menerangkan telah menyerahkan barang-barangnya untuk berapa lama kepada komisioner untuk dijualkan dan komisioner pada umumnya memberikan perskot atas barang-barang yang diterima itu. Dalam praktek barang-barang yang dikhimkan kepada komi­sioner untuk dijual disebut barang-barang konsinyasi sedangkan barang-barang yang diterima oleh komisioner dipergunakan isti­lah barang barang komisi.
Hak dan kewajiban komisioner dan komiten terhadap satu sama lain selain yang termaktub dalam ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata dan KUH Dagang jugs ditentukan oleh persetu­juan antara mereka yang disebut commissie-contract serta kebia­saan. Commissie-contract ini adalah suatu persetujuan timbal-balik yang berisikan pemberian kuasa dengan penerimaan upah. Di sini komiten adalah pihak pemberi kuasa sedangkan komisioner ada­lah pihak penerima kuasa.
Hanya dalam hal ini untuk menerima kuasa itu tidak mencakup pewenangan mewakili, karena pemberian kuasa ini hanya bersifat intem. Keadaan ini berubah, apabila kemudian disebut siapa yang sebenamya yang.memberi kuasa/perintah itu. Di sini tidak terda­pat lagi suatu commissie-contract melainkan ketentuan-keten­tuan bagi pemberian kuasa sebagai mana tercantum dalam pasal 1792 KUH Perdata yang berlaku (pasal 79 KUH Dagang) hak-­hak selaku komisioner menjadi hapus.
Menurut hukum komisioner adalah pihak pembeli, penjual, peminjam dan sebagainya, pihak yang mengadakan persetujuan sehingga untuk ini hukum per anjian/perikatan berlaku sepenuh­nya.
Dalam hal pembelian pihak komiten mendapatkan barang-barang pembeliannya melalui pihak ketiga ialah komisioner. Inilah con­toh dari suatu pemilikan melalui pihak ketiga, (bezitsverkrij­ging door derden) di mana komisioner bukan merupakan pemilik melainkan hanya seorang detentor (houder) bagi komitennya.
Juga dalam hal komisioner harus menjualkan bagi kepentingan komitennya sekalipun secara pribadi melakukan persetujuan jual-beli, ia bukan pemilik barang-barang komitennya.
Seorang komisioner tidak harus menanggung, bahwa pihak ketiga itu akan memenuhi kewajibannya. Sebaliknya apabila seorang komisioner memberikan syarat bahwa ia, akan menanggung semua risiko dalam hal tidak ada pembayaran dari pihak ketiga  komisioner demikian ini disebut komisioner del credere - komisi­nya menjadi lebih tinggi (pasal 240 KUH Dagang).
Dalam hal ini ia juga bertindak sebagai borg. Hal ini dapat terjadi baik bagi komisioner jual maupun bagi komisioner beli. Karena komisioner hares menanggung risiko terhadap pihak ketiga akibat transaksi yang diadakan olehnya,  maka seorang komisioner mempunyai hak-hak khusus seperti:
1)      Mempunyai hak mendahului (privillege) terhadap barang­-barang yang berada di tangannya untuk perhitungan piutang­nya karena upah, biaya lain dari prinsipalnya (pasal 80 dan 81 KUH Dagang). Privilege ini mendahului privilege-privilege lain. Dalam hubungan ini terdapat kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
a.       Ada barang-barang milik komiten yang terjual dan pula telah diserahkan kepada pembelinya. Dalam hal ini komisioner dapat melakukan pembayaran terhadap. dirinya sendiri dari hasil penjualan itu, sehingga ia dapat melakukan apa yang disebut "eigen richting" ialah melakukan tindakan atas kuasa sendiri (pasal 81 KUH Dagang).
b.      Kepada komisioner oleh komitennya telah diserahkan barang-barang untuk sementara, disimpan atau pihak komisioner dibatasi dalam pewenangannya atau tidak diberi wewenang sama sekali untuk menjualnya. Apa­bila, pihak komiten tidak memenuhi kewqjil annya terhadap komisioner maka pihak terakhir ini dapat pergi ke Pengadilan Negeri dengan semua bukti-bukti­nya dan mengajukan permohonan agar diperkenankan menjual semua atau sebagian dari barang-barang ter­sebut sebagai pembayaran piutangnya.
c.       Tindakan seperti dalam b juga dapat dilakukan apabila pihak komisioner telah membeli barang-barang itu untuk kepentingan komitennya. Tindakan pihak komisioner dalam b dan c ini disebut parate executie, atau eksekusi langsung.
Pada umumnya privilege komisioner banyak persesuaiannya dengan pemegang hak, pand. Perbedaannya terletak dalam:
a.       Penjualan atas kehendak sendiri dilarang dalam pe­megang hak pand
b.      Privilege komisioner tidak menimbulkan hak yang bersifat kebendaan
Hak ini diberikan secara khusus, karena barang-barang itu dapat dijual sendiri olehnya dengan atau tanpa vonis hakim dan dari hasilnya itu mengambil semua piutangnya yang masih hares dibayar oleh komitennya (pasal 82 KUH Dagang). Karena itu is dapat, meng­adakan kompensasi Penjualan tanpa vonis hakim ini (parate excecutie) dapat dilakukan apabila dalam pem­berian kuasa itu hal ini tidak dibatas.
2)      Hak retentie (pasal 85 KUH Dagang).
Hak retentie ini tidak saja meliputi barang-barang yang diserahkan kepadanya selaku komisioner, tetapi juga ter­hadap semua barang dari komiten yang berada di tangannya.
3)      Apabila komitennya jatuh pailit, komisioner dapat mene­rima haknya seolah-olah tidak ada kepailitan (pasal 84 KUH Dagang).
Dalam hal ini kedudukannya seperti pemegang hipotik pertama, pemegang ikatan kredit, pemegang hak pand. la termasuk apa yang disebut "separatist".  Sebaliknya apabila komisioner yang jatuh pailit; komiten berhak menuntut kembali barang-barang yang ada padanya selama masih belum dijual dan masih dalam wujud seperti semula. Hak inilah yang disebut hak reklame dan tercantum dalam pasal 240 KUH Dagang. Keadaan "belum dijual" ini meliputi pula keadaan apabila barang-barang itu berada di tangan pihak ketiga untuk disimpan sebagai panel (pasal 241 KUH Dagang) bahkan dalam hal ini termasuk juga piutang-­piutang komiten yang belum dibayar sebelum terjadi kepailitan mengenai barang-barang yang diserahkan secara komisi kepada komisioner (past 240 KUH Dagang).
Dalam praktek kemungkinan terjadi problem  hukum sebagai berikut:
Seperti diketahui tindakan komisioner dapat dilakukan:
a.       Tanpa perintah seorang komiten. Di sini ia adalah pihak kontraktor, sehingga segala tanggung jawab menjadi tang­gung jawabnya. Hanya dalam hal ini harus diperhatikan adanya pemisahan tegas antara barang-barang milik sendiri dan barang-barang milik komitennya. Tanpa adanya pemi­sahan dan perincian yang tegas dapat menimbulkan kesu­karan dalam penentuan barang-barang siapa yang telah terjual. Lebih-lebih apabila hal ini mengenai efek. Untuk ini perlu diadakan pencatatan nomor-nomomya.
b.      Atas perintah komitennya. Dalam tiap ini dapat timbul perselisihan intern umpama pelaksanaan dari komisioner dapat dianggap salah oleh komitennya. Di samping itu perselisihan ini dapat mempunyai akibat ekstern. Misalnya diminta oleh komitennya untuk menjualkan barang-barang dengan harga Rp.10.000; tetapi jual dengan harga Rp. 8.000,-. Dengan sendirinya uang ini tidak dapat diterima oleh komiten dan karena  itu barang itu pula tidak dapat diserahkan kepada pembelinya. Perselisihan ini dengan sendirinya hanya terjadi apabila pihak komiten dirugikan seperti apabila komisioner jual mei jualnya dengan harga yang lebih murah atau komisioner beli membelinya dengan harga terlalu tinggi.

Dalam hal ini terdapat 2 kemungkinan tanggapan hukum:
1.       Tanggapan, bahwa perintah itu tidak dilaksanakan yang berarti, bahwa penjualan dan pembelian itu dilakukan oleh komisioner tanpa perintah jadi atas tanggung-jawab komisioner itu sendiri.
2.       Tanggapan, bahwa pemerintah itu tetap ada, sehingga penyerahan barang kepada pembeli atau penyerahan barang kepada komitennya tetap harus dilakukan.
Dua tanggapan tersebut mana yang paling tepat atau baik , sukar ditetapkan. Yang kiranya paling tepat penyelesaiannya ialah meneliti lebih dahulu akibat-akibat perselisihan itu terhadap pelak­sanaan perintah yang diberikan. Apabila komiten melihat kemungkinan adanya penjualan/pembelian dengan harga yang diperintahkan itu hanya dari transaksi ini yang berarti bahwa tidaklah mungkin diadakan penjualan/pembelian dengan pihak lain atas dasar harga yang diperintahkan maka bagi pihak komiten tidak ada alasan untuk menahan/me­nolak barang-barang itu sehingga penyerahan barang-barang itu hares dilaksanakan. Komisioner dalam hal ini tetap tezikat dan baginya tidak ada jalan lain kecuali membayar kekurangan yang diterima oleh komiten atau menanggung kekurangan pembayaran yang diterima dari komiten.
Sebaliknya apabila komiten menganggap bahwa barang­-barang itu dapat jual/dibeli dengan harga, menurut pe­rintah yang sebenamya kepada atau dari pihak lain, maka pihak komiten sudah barang tentu tidak merasa dirinya adanya ikatan untuk melakukan penyerahan barang-barang itu.
Dengan demikian maka persoalannya menjadi persoalan antara komisioner dengan pihak penjual/pembeli yang dapat diselesaikan dengan pembatalan atau penerusan persetujuan jual-beli segala sesuatu dengan konsekuensinya sendiri­sendiri.
Hal lain yang menjadi pertanyaan adalah apakah dalam memenuhi perintah dari komiten itu hal ini dapat dilakukan dengan barang-barang milik perusahaan komisioner sendiri.
Menurut beberapa penulis dianggap bertentangan dengan kewajiban seorang komisi­oner kecuali apabila hal ini ditentukan dalam persetujuan dengan komitennya.
Penggunaan transaksi dengan perantaraan komisioner itu memberikan beberapa keuntungan seperti antara lain dapat disebut:
1.       Komisioner bertindak atas namanya sendiri. Dengan demikian segala, risiko dipikul oleh komisioner.
2.       Persaingan diperkecil, sehingga berpengaruh terhadap harga barang yang dijual itu.
3.       Untuk perhubungan perdagangan luar negeri di mans perlu menggunakan pedagang-pedagang yang telah di­kenal baik di negeri itu.
4.       Secara tidak langsung komiten dapat mempergunakan kredit dan modal dari komisioner.
Komisi komisioner adalah jauh lebih tinggi daripada komisi makelar.

1 komentar:

  1. The King Casino Company - Ventureberg
    It 출장안마 was born in 1934. The Company offers luxury hotels, If you don't have a https://octcasino.com/ poker ventureberg.com/ room in your house, then you'll 토토 사이트 추천 find a kadangpintar poker room in the

    BalasHapus